Jumat, 11 November 2011

Shalat Hakiki Harus Disertai Tafakkur dan Khusyuk

Saya ingin seperti Fatimah, dapat mengerjakan shalat. Fatimah adalah salah satu sahabatku di kampus. Pada awalnya, saya tidak tahu; apakah shalat itu? Pada suatu hari, saya ingin berangkat ke kampus bersama Fatimah. Fatimah tiba-tiba teringat belum mengerjakan shalat. Fatimah pun meminta maaf kepada saya karena harus mengerakan shalat terlebih dahulu sebelum berangkat ke kampus. Saya pun mempersilahkannya.

Fatimah mengerjakan shalat dengan khusyuk. Saya pun dapat merasakan ketenangan pada diri Fatimah saat shalat. Fatimah ketika shalat, seakan-akan tidak mengenalku dan hanya tertuju pada satu titik. Ia juga membaca bacaan shalat dengan tenang. Ketika bangun dari sujud, spritual yang dahsyat tampak pada diri Fatimah yang tengah mengerjakan shalat.

Menyaksikan pemandangan indah itu, muncul sebuah pertanyaan di benakku; Siapakah yang diajak berbicara oleh Fatimah yang dapat mengubah kondisinya? Ketika melihat Fatimah yang tengah shalat, saya merasakan daya tarik ke arah ibadah itu. Saya ingin melihat kembali Fatimah mengerjakan shalat kembali.

Saat shalat, Fatimah membaca bacaan-bacaan khusus dengan penuh kerinduan kelembutan. Kerinduan beribadah sangat tampak pada diri Fatimah saat shalat. Pandanganku akan dunia secara perlahan-lahan pun bergeser. Semenjak itu, saya mempelajari agama Islam. Tidak lama setelah itu, saya menerima agama itu dan memasuki dunia spritual yang luar biasa dengan mengerjakan shalat. Itulah tadi sebuah pengalaman seorang mengenal Islam setelah melihat spritual shalat.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia selalu membutuhkan shalat. Tidak ada sarana penghubung terkokoh manusia kepada Allah Swt selain shalat. Perlu diketahui pula bahwa berbagai riset membuktikan bahwa shalat adalah cara terefektif dalam membentuk individu dan masyarakat ideal. Melalui shalat, masyarakat dapat terlepas dari dekadensi moral yang saat ini menjadi kendala utama bagi dunia moderen. Ada tiga hal utama pada shalat yang berperan penting dalam membentuk spritual manusia. Ketiga hal tersebut adalah mengajak seseorang meninggalkan dosa, menghidupkan spirit ibadah dan mempersembahkan ketenangan.

Shalat dengan tuntunan konstruktifnya merupakan manifestasi kesempurnaan ibadah, penghambaan dan keimanan kepada Allah Swt. Shalat dapat melepaskan batasan-batasan sempit dan sisi gelap dunia, serta dapat mengontrol hawa nafsu dan emosional. Menurut agama-agama samawi, shalat adalah simbol religius dan keimanan. Akan tetapi shalat yang diajarkan Islam merupakan shalat terbaik dari sisi kualitas.

Sangat disayangkan, sejumlah pihak hanya memperhatikan lahiriah shalat. Bagi mereka, banyak beribadah dapat membuka jalan kebahagiaan. Padahal banyak riwayat menekankan bahwa keimanan dan perbuatan harus diimbangi dengan akal dan makrifat. Ishak bin Ammar kepada Imam Jafar Shadiq as mengatakan, "Saya mempunyai tetangga yang selalu mengerjakan shalat, memberi sedekah dan mengerjakan haji. Tidak ada kekuarangan pada dirinya." Mendengar cerita Ishak, Imam Jafar as berkata, "Wahai Ishak, bagaimana dengan akalnya? Ishak menjawab: "Ia tidak mempunyai hal itu". Imam berkata: "Ia tidak akan mencapai derajat itu."

Bertafakur atau merenung dapat menumbuhkan kesadaran dan makrifat. Manusia-manusia sukses adalah mereka yang mencarii khazanah internal dalam renungan dan tafakur. Rasulullah Saw bersabda, "Dua rakaat shalat yang dilandasi dengan tafakur lebih baik daripada shalat semalaman." Imam Ali as berkata, "Tidur dilandasi dengan ilmu dan keyakinan lebih baik dari mengerjakan shalat yang dilandasi kebodohan dan keraguan."

Dengan memperhatikan urgensi shalat, para wali Allah Swt menekankan bahwa ibadah dapat diterima saat dikerjakan berlandaskan ilmu dan makrefat. Seorang ulama muslim kepada anaknya berwasiat, "Wahai anakku, tafakur adalah sarana terbesar bagi kesadaran diri dan kesucian hati. Tafakur dalam rangka mengalahkan hawa nafsu, menjauhkan diri dari kecongkakan dan menyadari akan kekuatan abadi, mempunyai peran yang luar biasa. Dalam riwayat disebutkan, tafakur tentang Allah Swt dan keagungannya merupakan ibadah terbaik. Hal itu bisa dilihat dari kekuatan tafakur yang dapat menghantarkan manusia kepada Allah SWt. Dengan demikian, pahala ibadah dapat digapai setelah bertafakur."

Kontak internal dengan Allah Swt dan ibadah yang dikerjakan dengan khusyuk adalah di antara dampak penting dari tafakur dan kesadaran. Dalam kondisi seperti itu, seorang yang mengerjakan shalat akan memperhatikan bacaan yang ada dengan khusyuk dan rendah diri. Terkait hal ini, Rasulullah Saww bersabda, "Manusia terbaik adalah orang yang mengerjakan shalat dengan senang hati dan khusyuk. Saat mengerjakan shalat, ia terlepas dari segala sesuatu."

Kita juga harus ingat bahwa hubungan spritual antara manusia dan  Allah Swt selama shalat dapat membebaskan kekuatan spritual yang terbelenggu dan memperkokoh kemauan untuk beramal dan berbuat baik. Rendah hati dan khusyuk dalam shalat mencerminkan makrefat kepada Allah Swt. Dalam al-Quran disebutkan bahwa Allah Swt memberikan kabar gembira bagi para pendiri shalat yang hati mereka bergetar saat shalat. Allah Swt dalam surat Al-Mu'minun ayat 1-2 berfirman, "Sesunguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam sembahyangnya."

Sebagaimana disinggung dalam al-Quran, Allah Swt berfirman, "Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagiaan permulaan daripada malam, Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." (Surat Huud ayat 114)

Setelah mendengar penjelasan tadi, kita sudah sewajarnya mengerjakan shalat dengan khusyuk. Jika memahami dengan baik makna bacaan-bacaan shalat, kita akan menyadari saat itu bahwa shalat sangat menyenangkan. Dengan mendengar azan, khususnya pada kalimat "Hayya Ala As-Sholah", yang artinya; "Marilah bersegera mengerjakan shalat," kita sudah sepatutnya mempersiapkan diri menghadap Allah Swt melalui shalat. (IRIB)benher)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar