Minggu, 13 November 2011

KELUARGA DAN PERKAWINAN

Keluarga, seperti ayah, ibu, saudara yang lebih besar, dan keluarga-keluarga yang lain seperti paman dari ibu ataupun dari ayah bisa membantu pemuda dan pemudi yang ingin berkeluarga. Bagaimanapun juga, mereka mempunyai pengalaman yang cukup luas dalam kehidupan, bahkan mereka telah merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Karenanya, mereka bisa memberikan petunjuk kepada pemuda jalan yang benar dan menawarkan kepadanya seorang wanita yang hendak dinikahinya, kemudian memberikan kesempatan untuk mengambil keputusan.
Jika ia tidak dapat mengambil keputusan, maka orang tua harus menjelaskan apa yang baik bagi lelaki tadi tanpa harus melakukan intervensi dalam masalah-masalah pribadi. Selanjutnya, mereka tetap harus menyerahkan kepada lelaki tadi untuk mengambil keputusan terakhir. Perlu kami tegaskan kepada seluruh keluarga dalam masalah penting ini, yaitu bahwa pemuda dan pemudilah yang ingin hidup bersama dalam waktu yang cukup panjang dan bukannya orang-orang tua itu. Karena itu, merekalah yang harus membuat keputusan untuk menerima satu sama lain. Oleh karena itu tugas keluarga (orang tua) hanyalah memberitahukan kepada mereka mengenai pengalaman-pengalamannya atau nasihat-nasihatnya yang berharga.
Adalah tidak adil jika orang tua memutuskan perkawinan anak-anak mereka tanpa mempedulikan pendapat mereka, karena yang demikian ini akan membawa kehidupan yang penuh kesusahan dan kepedihan. Jika sampai terjadi, menurut pendapat saya hal ini adalah sebuah dosa besar yang akan dipertanyakan pada hari kiamat.

Pentingnya Musyawarah dalam Perkawinan
Musyawarah mempunyai peranan yang penting di dalam Islam. Al-Quran dan hadist-hadist telah menjelaskan dan mewasiatkan pentingnya musyawarah. Allah berfirman kepada Nabi SAWW,
“Dan bermusyawarahlah kepada mereka dalam suatu perkara, maka jika engkau memutuskan untuk melakukan sesuatu hendaknya bertawakal kepada Allah.” (QS. Ali Imron : 159)
Kepada kaum muslimin, Allah berfirman, “Dan dalam perkara mereka, hendaklah merekaselalu bermusyawarah.” (QS. Asy-Syura : 38).
Dalam sebuah hadist tentang musyawarah, Rasulullah SAWW ditanya,  “Apakah hazm itu ?  Rasulullah SAWW menjawab, “Tidak ada penolong yang lebih dipercaya kecuali musyawarah dan tidak ada kesempurnaan akal seperti pandai dalam mengatur.” Rasul SAWW juga bersabda,  “Bermusyawarah dengan orang yang berpengalaman dan yang mampu memberikan nasehat akan memberikan barakah, petunjuk, serta taufik dari Allah. Maka jika ia (orang yang berpengalaman itu) menyarankan kepadamu sesuatu, maka turutilah dan jangan melakukan keputusan yang berbeda karena itu akan membuatmu celaka.”
Bermusyawarah dengan orang yang berpengalaman dapat memberikan faedah dan pelajaran yang berharga. Begitu pula seseorang yang bermusyawarah dengan orang lain dalam masalah-masalah penting, ia akan sedikit melakukan kesalahan dan penyesalan. 
Akan tetapi, berkaitan dengan orang yang kita ajak bersmusyawarah itu tentu saja ada sejumlah kriteria yang harus kita perhatikan dengan baik. Pertama-tama, tidak mungkin kita bermusyawarah dengan sembarang orang, karena orang bodoh tidak mengetahui kepentingan yang sebenarnya. Lagi pula,  bagaimana mungkin orang bodoh itu mampu menjelaskannya sesuatu kepada orang yang mengajaknya bermusyawarah?
Yang kedua, hendaknya orang yang diajak bermusyawarah itu adalah seorang mu’min dan taat beragama,  karena  orang yang tidak beriman sangat sulit untuk dipercaya disebabkan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama. Bahkan sebaliknya, ia akan sangat mungkin  menjerumuskan kita ke jurang kesesatan dan kerusakan.
Ketiga, hendaknya ia seorang yang sarat akan rasa persaudaraan dan kejujuran serta karena jika belum diketahui kejujurannya, maka tidak mungkin ia dipercayai pendapat-pendapatnya atau diperhatikan keputusan-keputusannya, bahkan kadang-kadang ia menyesatkan orang yang meminta pendapatnya serta bisa membongkar rahasianya.
Imam Shadiq a.s. berkata, “Musyawarah tidak akan terjadi kecuali dengan empat syarat dan siapapun harus mengetahui empat syarat tersebut…. Empat syarat itu ialah: pertama, orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang cukup matang pemikirannya; kedua tidak terikat namun ta’at beragama; ketiga ia mampu berfungsi sebagai teman, dan yang keempatia mampu menjadi saudara yang bisa Anda percayai dalam menyimpan rahasia Anda, karena ia akan mengetahui apa yang Anda ketahui kemudian menyimpannya (sebagai rahasia). Sesungguhnya, jika dia seorang yang matang pemikirannya (berakal), maka kamu akan mendapatkan manfaat darinya. Jika dia seorang yang tidak terikat namun ta’at beragama, maka ia akan betul-betul berusaha menasehatimu. Jika dia seorang teman dan saudara, dia akan menyimpan rahasiamu yang telah kamu sampaikan kepadanya. Jika dia tahu rahasiamu, maka dia mengetahui maksudmu. (Jika keempat syarat ini terpenuhi) maka musyawarah dan nasehat bisa berlangsung.” (Makarim Al-Akhlak ; 367).
Oleh karena itu, kita harus bermusyawarah dengan orang yang berpengalaman, beragama, dipercayai dan penasehat, terutama dalam masalah perkawinan yang sangat penting dan menentukan. Orang yang paling utama untuk diminta sarannya dalam masalah perkawinan bagi seorang pemuda adalah orang tua, dengan syarat mereka termasuk orang-orang yang pandai mengatur serta mempunyai cukup pengetahuan. Bagaimanapun juga, orang tua adalah seorang yang paling jujur sekaligus yang pang mampu memainkan peranan sebagai penasehat bagi anak-anaknya dibanding orang lain. Adalah suatu kesalahan jika anak-anak tidak bermusyawarah dengan orang tua mereka dalam masalah perkawinan, karena mereka (orang tua) adalah pembimbing terbaik bagi anak-anak mereka dalam masalah sepenting ini. Mereka juga mempunyai cukup pengalaman dalam kehidupan. Walhasil, mereka adalah orang-orang yang dapat dipercaya dalam memberikan nasehat.
Tentu saja perlu ditegaskan lagi bahwa orang tua hanyalah penasehat yang fungsinya adalah memberikan petunjuk untuk kemudian membiarkan anak-anak mereka mengambil keputusan, dan bukan mereka yang memutuskan serta memastikan perkawinan anak-anak mereka itu. Setelah bermusyawarah dengan kedua orang tua, seorang pemuda bisa juga bermusyawarah dengan kakek, nenek, saudara, paman, bibi, dengan tetap memperhatikan syarat-syarat di atas. Tahap berikutnya, musyawarah bisa dilakukan dengan seorang mu’min yang berwawasan luas dan dapat dipercaya terutama teman dan kerabat.
Di sini kami merasa harus memberikan nasehat kepada siapapun yang diajak bermusyawarah. Adalah sudah menjadi tanggung jawab agama, akal, dan kemanusiaan Anda untuk ikut memperhatikan dan menjelaskan masalah yang dipaparkan oleh orang yang mengajak bermsyawarah tersebut. Anda juga harus menjalankan tugas ini dengan penuh kejujuran tanpa harus menutup-nutupi kenyataan. Seandainya Anda berbohong dalam bermusyawarah, maka ketahuilah bahwa Anda harus bertanggung jawab di hadapan Allah. Maka katakanlah yang sebenarnya walaupun membahayakan diri, kerabat, ataupun teman Anda. Amirul Mukminin Ali a.s. berkata, “Siapapun yang menipu kaum muslimin dalam bermusyawarah, maka aku berlepas diri darinya (jika ia sampai mendapatkan azab dari Allah).

Peran Istikharah dalam Perkawinan
Banyak orang yang mempercayai istikharah (meminta pilihan kepada Allah) dalam perkawinan anak-anak mereka. Kami di sini akan membahas masalah istikharah ini. Sebelumnya kami ingatkan di sini bahwa istikharah tidak akan berguna bagi siapapun kecuali setelah ia berusaha dan bermusyawarah. Karenanya, ada sejumlah langkah yang dilakukan terlebih dahulu oleh seseorang.  Pertama-tama, wanita, lelaki, serta keluarga mereka harus melihat dan mencari tahu tentang calon suami dan istri mereka masing-masing. Jika mereka ragu, maka segeralah bermusyawarah dengan orang yang dapat dipercaya. Kalaupun mereka sampai pada keyakinan setelah melakukan musyawarah ini, maka hendaknya perkawinan segera dilangsungkan. Namun, bila keraguan dan kebingungan tidak juga hilang setelah mereka melakukan kedua langkah tadi, maka istikharah merupakan jalan yang terakhir.
Istikharah, seperti yang nampak dari namanya, adalah doa dan permohonan kebaikan kepada Allah. Manusia mengangkat tangannya untuk berdoa ketika dalam keadaan bingung dan meminta kepada Allah agar mengaruniai hidayah kepadanya demi kebaikan agama, dunia dan akheratnya. Ketika itulah ia melepaskan diri dari kebingungan dan memulai bertawakal kepada Allah SWT serta mengharapkan agar doanya terkabul.
Sebagai penutup, kami ingatkan lagi bahwa usaha dan musyawarah lebih diutamakan dari pada istikharah. Sebagian orang telah terbiasa ber-istikharah untuk setiap perbuatannya. Padahal, istikharah yang bukan pada tempatnya kadang-kadang menyebabkan kebingungan dan malah membuatnya terhalang untuk melakukan pekerjaan. [irib]benher]
__________
Diterjemahkan dari kitab Ikhtiar al-Jauz karya Ayatullah Ibrahim Amini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar