Kamis, 24 November 2011

Berpikir Positif, Jangan Cari Kekurangan!

Apa perbedaan antara orang-orang yang sukses selama bertahun-tahun berumah tangga dengan mereka yang selalu dililit masalah?

Mayoritas pasangan memulai hidup barunya bersama cita-cita luhur dan ideal. Akan tetapi, sebagian menikmati kehidupan indah ini hanya dalam beberapa waktu. Sebagian yang lain, setelah beberapa tahun lamanya mereka masih merayakan hari jadi pernikahannya dengan penuh keceriaan dan keindahan. Mengapa demikian?

Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang telah mencuri perhatian para pegiat dan psikolog keluarga dalam sepuluh tahun terakhir. Dr. Spurgeon seorang psikiater dari Inggris yang lebih dari separuh hidupnya ia fokuskan pada konsultasi perkawinan, berdasarkan eksperimen dan pengalaman di kliniknya berkesimpulan bahwa perkawinan sukses memiliki beberapa kriteria dasar.

Mengenai hal itu, ia mengatakan, "Suami-istri dalam keluarga sukses adalah pemenuh kebutuhan-kebutuhan alamiah satu sama lain. Mereka memiliki interaksi yang penuh pengertian, dan dalam berbagai kesempatan, mereka saling memuji dan menghargai, saling mengungkapkan perasaan cinta, mereka sama-sama menyiapkan potensi untuk berkembang, dan disamping rasa saling cinta, mereka juga berusaha melestarikan pondasi keluarga."

Menurut psikiater ini, jika dalam hubungan suami-istri tidak adanya satu atau beberapa faktor ini, akan tampak tanda-tanda ketidakpuasan dalam bentuk kritikan, kelesuan, tidak harmonis, rasa iri, dan bahkan ancaman perceraian. Jika suami-istri secara serius tidak saling memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dasar, maka perdebatan, depresi, pengkhianatan, kecanduan obat-obatan, terganggunya pekerjaan, dan perceraian akan merasuki poros keluarga.

Para psikolog berpendapat bahwa kriteria penting lainnya sebuah keluarga ideal adalah kemampuan berinteraksi positif dan membangun dengan lingkungan keluarga, atau dengan kata lain berinteraksi dan berpikir positif. Keluarga berpola pikir positif, saat menghadapi masalah dan fenomena yang berhubungan dengan mereka, sisi positif dan mendidik yang menjadi perhatian mereka, sementara sisi negatif sebisa mungkin mereka tutupi. Berpikir positif itu dapat disebut seni melihat sesuatu dengan positif. Keadaan seperti ini bersumber dari kualitas ruh dan jiwa manusia.

Orang-orang yang agamis umumnya berpikiran dan punya pandangan positif. Karena ajaran agama menekankan bahwa manusia harus saling berbaik sangka, menjauhi sikap buruk sangka, dan punya asumsi positif terhadap perilaku orang lain. Islam dalam ajaran akhlaknya menekankan sikap berbaik sangka dalam lingkungan keluarga. Berbaik sangka dan berpikir positif terhadap pasangan memiliki peran penting dalam mempererat pondasi keluarga. Jelas, bahwa usaha anggota keluarga untuk menghilangkan asumsi negatif satu sama lain akan menciptakan hubungan yang lebih baik dan lebih mesra.

Para psikolog dalam rangka menguatkan pola berpikir positif menyarankan bahwa langkah pertama harus punya file daftar kelebihan dan potensi pasangan Anda, dan memporitaskannya sebagai sebuah prinsip dalam hidup. Dalam berbagai kesempatan dengan pasangan terlebih saat bercengkrama, menyebut kelebihan dan potensi pasangan Anda, dan Anda usahakan agar nuansa komunikasi penuh dengan tanda-tanda positif hingga meninggalkan kesan positif pada pasangan Anda.

Jika Anda ingin melihat satu ciri khas pada pasangan Anda, tapi untuk saat ini Anda belum dapat menyaksikannya, daripada mencela dan menghina, Anda dapat menggunakan metode lain. Dalam kondisi ini, cara yang paling tepat adalah mendoktrin hal-hal positif pada pasangan Anda. Dengan mendoktrin hal-hal positif, secara bertahap akan terlihat sifat-sifat baik pada perilaku pasangan Anda. Sebagai contoh; seorang suami yang merasakan bahwa istrinya lemah dan tak berdaya saat berhadapan dengan masalah. Ia dapat berkata kepadanya: "Saya memuji kepribadianmu yang tabah dan tangguh dalam menghadapi masalah." Atau ibarat lainnya, "Saya yakin, kamu tidak akan membiarkan masalah dan kemelut mengalahkan dirimu."

Begitu juga dengan suami yang berperangai buruk dan kasar, dalam hal ini ada baiknya sang istri bersikap terhadapnya, "Saya mengerti masalah ini akan melelahkan dan membuat emosi semua orang. Akan tetapi, lebih baik kamu bersabar dan tabah."

Langkah lainnya untuk menambah jiwa berpikir positif dalam keluarga adalah menguak sisi-sisi kesamaan mental antara Anda dan istri. Setelah bertahun-tahun lamanya kita menghabiskan kehidupan keluarga, kita telah mengetahui kriteria-kriteria pendamping, dan adanya kesamaan dengan ciri-ciri kepribadian kita. Menguatkan sisi kesamaan ini, sangat berpengaruh bagi terwujudnya jiwa berpikir positif dalam lingkungan keluarga.

Sekarang, kami akan memaparkan sebuah surat dari seorang istri yang dilayangkan kepada kami, dan mengisahkan seputar pola pikir positif suaminya. "Saya sangat mencintai suamiku, dan bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan suami seperti ini. Suami saya ketika datang ke rumah, selalu yang pertama mengucapkan salam kepada anggota keluarga, dan sama sekali tidak membawa kesulitan dan problema kehidupannya ke dalam rumah. Ia tipe suami yang sangat rasional dan optimis melihat kehidupan, tidak membesarkan masalah-masalah sepele, tidak pernah melupakan kebaikan dan pengabdian teman terlebih keluarganya. Ia selalu berusaha untuk menghargai pendapat saya dalam masalah kehidupan.

Suami saya, saat melihat aib dan kekurangan dalam diriku, dengan lembut ia memberitahukan hal itu tanpa orang lain mengetahuinya. Ia selalu berusaha untuk menemukan hal-hal positif dalam diri saya, dan menguatkannya dengan dorongan. Kami pada awal-awal berumah tangga, memiliki selera yang jauh berbeda. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan dengan pengaturan sang suami, masalah terselesaikan. Saya mencintainya dan mengenalnya sebagai teladan, saya juga berusaha untuk menjadi istri yang setia baginya."

Kepuasan ibu rumah tangga ini terhadap suaminya menyenangkan kita. Kisah di atas, mengingatkan pada sebuah ayat al-Quran. Dalam surat al-Baqarah ayat 187, Allah Swt berfirman, "Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." Ini adalah ungkapan yang sangat indah sebagaimana Allah Swt telah menjelaskan menyangkut hubungan suami-istri.

Pada hakikatnya, tidak ada manusia tanpa aib. Dalam bahasa al-Quran, suami-istri yang baik adalah sebab terjaganya satu sama lain dan juga saling menutupi kekurangan. Sebagaimana pakaian, yang melindungi manusia dari sebagaian hal bahaya, juga menutupi sebagian aib dan kekurangan manusia. Lebih dari itu, pakaian juga hiasan bagi manusia. Istri yang baik juga sebagaimana pakaian yang indah, manusia akan ditampilkan dengan indah.

Dr. Gholam Ali Afruz seorang psikolog menyangkut hal ini mengatakan, "Pakaian akan menutupi aib dan kekurangan manusia, ia akan menjaga manusia dari para pencari kekurangan orang. Istri-istri yang baik, pengertian dan tempat pelipurlara dengan pakaian cinta yang sama-sama dikenakan, akan menutup semua kekurangan dalam perilaku, kelemahan dan kesalahan. Mereka dengan berpikir positif terhadap pasangannya, sama sekali tidak membuka kelemahan kepribadian, dan kekurangan masing-masing kepada orang lain."

Imam Sajjad as juga dalam buku "Risalah Huquq" (Risalah Hukum), mengenai salah satu hak antara suami-istri, mengatakan, "Muliakanlah istrimu, berlemah-lembutlah kepadanya. Dan jika ia melakukan kesalahan, maafkanlah ia."
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dalam keluarga ideal, suami-istri berusaha dengan berpikir positif menjauhi mencari kekurangan, dan dalam berbagai kesempatan, menjadikan penguatan sisi positif satu sama lain sebagai dasar. (IRIB)benher

Enyahkan Tuntutan Irasional dari Pasanganmu!

Tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga, tak hanya sebuah tema hukum, tapi lebih dipengaruhi oleh ikatan emosional dan kejiwaan juga didasarkan pada standar-standar etika dan norma. Pentingnya kajian seputar hak-hak dalam rumah tangga berasal dari kedudukan tinggi institusi yang suci ini. Populernya nilai-nilai moral, rasa bertanggungjawab secara sosial, dan ikatan emosional yang dalam, akan nampak di tengah masyarakat ketika keluarga-keluarga yang menjadi bagiannya memiliki hubungan yang hangat.

Saat akad nikah dan ikrar suci sudah terjalin di antara dua insan, maka hadir tanggung jawab dan hak di antara mereka. Pasangan suami istri yang sukses merasa memiliki tanggungjawab besar dan tidak pernah berpikir untuk menggoyahkan ikrar dan ikatan suci di antara mereka. Ikrar hidup bersama akan abadi dengan cinta. Untuk menjaga keutuhan dan kelanggengan janji suci ini, ada banyak cara yang dapat dilakukan.

Anda tentunya masih ingat bahwa pada tulisan-tulisan sebelumnya, telah dipaparkan ciri-ciri pasangan dan keluarga yang sukses. Ciri-ciri tersebut yang pernah disampaikan antara lain; kecenderungan bersama untuk mendorong pasangan maju, menghadirkan cinta dan menanam kasih sayang, berpikir positif dan berbaik sangka, serta saling membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah.

Dari sejumlah penyakit yang mengancam keutuhan rumah tangga adalah tumbuhnya keinginan dan tuntutan yang tidak rasional di antara suami-istri. Terkadang mengetengahkan keinginan-keinginan ini akan mengusik ketenangan keluarga. Kebanyakan pasangan muda terusik dengan hal ini, karena ketidakjelasan pembatas antara keinginan logis dan keinginan yang tak logis. Masalah ini terkadang bisa melukai perasaan mereka.

Titik rawan dalam kehidupan hadir ketika keinginan-keinginan tak logis menumpuk dan tidak terpenuhi, sementara kesabaran suami-istri kian menurun secara bertahap. Akhirnya, perasaan negatif mendominasi dan hubungan mereka menjadi kasar. Keluarga ideal dengan mengatur dan menentukan penantian-penantian rasional, telah menutup jalan bagi masuknya berbagai faktor perpecahan.

Oleh sebab itu, adanya bentuk kesepakatan menyangkut keinginan-keinginannya, dan kesepahaman serta cinta mengalir dalam hidup mereka. Kehidupan bersama yang berimbang akan terbentuk saat hubungan suami-istri dibangun di atas landasan rasional. Dalam kondisi ini, suami-istri tidak memiliki keinginan yang tidak rasional dan yang di luar kemampuan pasangannya.

Manusia karena rasa cinta pada diri sendiri selalu bergerak ke arah kepentingan pribadi. Mungkin dampak buruk sifat ini jarang terlihat kala ia masih sendiri dan belum menikah. Akan tetapi dalam kehidupan bersama karena jalinan hubungan baru, terdapat gesekan antara kepentingan dan selera pribadi suami dan istri. Akhirnya, masalah yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan akan lebih terlihat.

Dalam kondisi ini, jika suami dan istri memiliki perilaku dan pendidikan yang benar, mereka dapat menemukan cara yang logis dan tepat untuk menyelesaikan perbedaan ini dengan mengesampingkan selera pribadi dan cara kekerasan. Akan tetapi, ada pula orang yang mengedepankan kekerasan terhadap pihak lain. Keluarga seperti ini telah mengesampingkan akal sehat dan akibatnya rumah tangga menjadi keruh. Karena semua anggota keluarga tidak punya andil dalam membuat keputusan.

Kesepakatan dan aturan kehidupan sangat diperlukan untuk mengatur hubungan suami-istri. Akan tetapi, aturan ini hanya dapat menjelaskan dengan benar hubungan timbal-balik suami-istri jika ia disusun atas dasar prinsip-prinsip yang benar dan sesuai dengan kebutuhan mental pasangan tersebut. Pihak manapun benar maka harus diakui. Jenis kelamin, usia dan pendidikan sama sekali tidak boleh lebih diprioritaskan di atas nalar dan kebenaran. Oleh karena itu, pria dan wanita tidak boleh memaksakan selera dan pendapatnya kepada pihak yang lain dengan alasan apa pun.

Menjadikan Kebenaran Sebagai Paramenter

Mengikuti kebenaran dan berpandangan logis merupakan bagian dari pesan moral yang terdapat dalam al-Quran dan ajaran Islam. Tentu saja, berpegang pada kebenaran dalam lingkungan keluarga mempunyai dampak-dampak positif dalam hubungan suami-istri. Dalam pandangan Islam, syarat keimanan dan akhlak seseorang adalah cinta pada kebenaran. Dari sunnah dan ucapan para pemimpin agama ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang harus menyampaikan dan menerima kebenaran sekalipun pahit baginya.

Suami-istri perlu memperhatikan bahwa terkadang dalam pertengkaran dan perselisihan, pihak lainlah yang benar. Dalam kondisi ini, sebagai bentuk rasa tanggung jawab moral dan agama ia harus mengakui dan menerima kebenaran. Pengakuan ini berasal dari sikap berpegang pada prinsip-prinsip keimanan, dan akan berpotensi menciptakan ketenangan batin bagi manusia, disamping juga menurunkan api kemarahan pihak lain. Tentu saja, lari dari logika dan kebenaran tidak hanya menanamkan sikap dendam dan permusuhan, tapi juga akan meruntuhkan rasa percaya pihak lain.

Dr. Qaimi, seorang pakar ilmu pendidikan mengatakan, "Dalam sebuah keluarga yang di sana terjadi pertengkaran, suasana keluarga dihantam oleh badai yang membuat suami-istri tidak tertarik padanya. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa pertengkaran dalam keluarga tidak akan mendatangkan kebahagiaan bagi pasangan suami istri. Meskipun secara lahiriyah, pertengkaran itu menguntungkan satu pihak, tapi bukan berarti ia menang. Lebih dari itu, dampak lain pertengkaran berpotensi melahirkan kegagalan bagi kedua pihak.

Rambu-rambu Islam tidak mengizinkan seorang suami berperilaku tidak rasional dan menzalimi istrinya. Ajaran Islam lebih mengedepankan toleransi dan sikap lunak terhadap istri atau wanita. Tentu saja, kaum pria yang lebih kuat menahan beban perlu memberikan perhatian khusus mengingat watak lembut dan emosional sensitif pada kaum wanita. Akan tetapi, berdasarkan ajaran Islam dan moral, suami-istri harus mengesampingkan sikap egois dalam lingkungan keluarga. Dan dalam setiap perselisihan, kedua pihak harus mengalah demi maslahat yang lebih besar."

Para psikolog menyarankan beberapa cara demi terciptanya sebuah hubungan rasional dalam lingkungan keluarga. Antara lain: "Gunakanlah argumentasi rasional dalam berkomunikasi dengan pasangan Anda. Namun ketika pasangan Anda sulit menerima realita dan kemungkinan ia akan merasa harga dirinya terancam, saat itu ubah gaya bicara dari kesan menghakimi atau memerintah ke bentuk saran dan anjuran.

Kadang kala, Anda perlu menceritakan kenangan masa lalu Anda dan orang lain yang disitu perselisihan diselesaikan dengan cara rasional. Jika pasangan Anda tidak berpikiran rasional, Anda perlu mengubah karakternya dengan meyakinkannya bahwa ia telah banyak menuai kesuksesan dengan menggunakan cara-cara rasional. Dalam sebuah keluarga yang mengedepankan logika, sama sekali tidak terdengar penghinaan, celaan, dan kritik yang bukan pada tempatnya." (IRIB)benher)

Rabu, 23 November 2011

10 Karakter Suami Ideal

Menjadi suami ideal, bisakah? Sudah lebih dari dua puluh tahun menjadi suami, namun saya merasa bukanlah suami ideal. Saya hanya selalu berusaha untuk menjadi baik dan menjadi lebih baik lagi setiap hari. Mungkin tidak akan pernah sampai ke taraf ideal, karena memang tidak mudah untuk mencapainya.
Namun sebagai suami, saya tetap perlu memiliki peta yang jelas, seperti apa karakter ideal yang seharusnya saya miliki. Jika tidak memiliki peta ini, saya hanya berjalan melingkar-lingkar, menuruti ritme hidup dan rutinitas yang mekanistik. Setiap hari seperti itu saja, bersembunyi di balik ungkapan “terimalah aku apa adanya”, lalu kita merasa tidak perlu melakukan perbaikan dan perubahan apapun. Toh pasangan kita sudah menerima kita apa adanya.
Pada kesempatan kali ini saya ingin meringkaskan tulisan tentang karakter suami ideal, dari pertama hingga kesepuluh.
Karakter pertama, suami ideal memiliki kemampuan untuk senantiasa memiliki cinta dan kasih sayang dalam jiwanya. Mungkin istri kita terasa sangat menyebalkan, atau tampak sangat menjengkelkan dengan perkataan dan perbuatannya setiap hari. Para suami selalu memiliki catatan yang sama, bahwa istri mereka amat sangat cerewet. Terlalu banyak bicara, terlalu banyak komentar, dan suka memberi nasihat tanpa diminta. Namun sebagai suami, kita tidak layak mencaci maki, memarahi dan membenci istri.
Jika tidak suka dengan perkataan atau perbuatannya, nasihati, ingatkan dengan kelembutan, dengan cinta dan kasih sayang. Jika melihat ada kekurangan pada dirinya, ingatlah Tuhan telah mengutus kita untuk mendampinginya, agar bisa menutupi kelemahan dan melengkapi kekurangan yang dimilikinya. Bukan mendamprat, memaki, apalagi sampai berlaku kasar dan menyakiti hati, perasaan dan badan istri. Selalu sediakan cinta dan kasih sayang untuk istri Anda.
Karakter kedua, suami ideal mampu menundukkan egonya sehingga mudah mengalah, cepat mengakui kesalahan dan ada banyak maaf dalam dirinya. Apakah yang menghalangi seorang suami untuk meminta maaf kepada istrinya? Apakah yang menghalangi suami untuk bersikap mengalah ketika ada perselisihan pendapat dengan istri? Apakah yang menghalangi suami untuk mengakui kesalahan yang dilakukan? Apakah yang menghalangi suami untuk memaafkan kesalahan dan kekurangan istri?
Itulah yang disebut dengan ego. Ada ego lelaki, ada ego perempuan. Dalam suatu pertengkaran antara suami istri, ego masing-masing memuncak tinggi. Tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mendahului meminta maaf, tidak ada yang mau mengakui kesalahan. Padahal, dalam setiap konflik dan pertengkaran suami istri, selalu ada andil kesalahan dari kedua belah pihak. Keduanya mesti memiliki andil dalam menciptakan suasana konflik. Maka, tundukkan selalu ego Anda, untuk istri Anda tercinta, demi keharmonisan rumah tangga.
Karakter ketiga, suami ideal mampu membahagiakan istri, dan merasa senang jika bisa membahagiakan istrinya. Jika kita mampu membahagiakan istri, maka akan sangat banyak yang bisa kita dapatkan darinya. Istri merasa nyaman dan tenang, sehingga kita sebagai suami akan lebih optimal dalam menunaikan berbagai macam kegiatan dalam kehidupan. Istri akan mendukung berbagai keinginan positif suami, selama ia merasa bahagia.
Yang perlu diketahui para suami, membahagiakan istri itu bukanlah bab bagaimana memberikan semua yang diinginkan istri, namun bab bagaimana menyentuh perasaan dan hatinya. Inilah hakikat yang lebih utama dan penting. Para suami sangat penting mengetahui jalan untuk menyentuh hati dan perasaan istri, sehingga lebih bisa menyelami hal-hal apakah yang membahagiakan jiwanya, apakah yang menenteramkan hatinya, apakah yang sangat diharapkannya.
Bahagiakan selalu istri Anda, dan lihatlah hasilnya, ia akan bersedia memberikan bantuan apapun yang Anda minta.
Karakter keempat, suami ideal selalu fokus melihat sisi kebaikan dan kelebihan istri, serta cepat melupakan kekurangan istri. Sesungguhnyalah setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak ada manusia yang sempurna, dimana hanya memiliki kelebihan saja dan tidak memiliki kekurangan. Sebagaimana juga tidak ada manusia yang hanya memiliki kelemahan dan kekurangan saja, tanpa memiliki kebaikan dan kelebihan apapun.
Semenjak awal pernikahan, seharusnya sudah ada kesadaran yang tertanam dalam diri suami dan istri, bahwa pasangan hidupnya bukanlah malaikat, bukanlah manusia super yang terbebas dari kelemahan. Para suami hendaknya menyadari, istri yang dinikahi itu hanyalah perempuan biasa saja, yang memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Untuk itulah Tuhan mengutus Anda untuk melengkapi kekurangannya, untuk memperbaiki sisi kelemahannya.
Lupakan saja berbagai kekurangan dan kelemahannya, fokuslah melihat sisi kebaikan dan kelebihannya.
Karakter kelima, suami ideal memiliki peta kasih yang lengkap terhadap istrinya. Peta kasih yang terperinci tentang pasangan akan memberikan banyak sekali kemanfaatan. Di antara manfaatnya adalah menumbuhsuburkan cinta dan kasih sayang, karena adanya rasa saling percaya. Dengan mengenal secara mendalam tentang berbagai kondisi pasangan, maka yang muncul adalah suasana saling percaya, dan tidak ada dusta atau curiga di antara mereka. Tidak ada sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, karena setiap bentuk perubahan sekecil apapun telah mereka ketahui bersama.
Cara yang paling sederhana untuk mengetahui detail perubahan dan perkembangan adalah dengan selalu mengobrol setiap saat, setiap waktu. Biasakan mengobrol, di setiap ada kesempatan, tanpa perlu membatasi atau menentukan tema-tema tertentu untuk diobrolkan. Dari A sampai Z, semua bisa diobrolkan oleh suami dan istri. Dengan cara mengobrol itulah berbagai hal bisa diketahui oleh pasangan. Suami menjadi mengerti pikiran istri, dan istri bisa mengerti pikiran suami.
Karakter keenam, suami ideal selalu mendekat kepada istri, bukan menjauh. Jika Anda tengah marah kepada istri, atau menyimpan kekesalan kepada istri, apa yang Anda lakukan? Semakin mendekat kepada istri, atau semakin menjauh? Jika pada kondisi seperti itu Anda menuruti emosi, melontarkan kata-kata yang menyakitkan, menampakkan mimik muka merah, apalagi sampai menyakiti fisik istri, artinya Anda menjauh.
Jika istri Anda tengah mengeluhkan sesuatu kepada Anda, bagaimanakah Anda merespon keluhannya? Jika Anda cepat mengkritik, bahkan cepat menyalahkan istri, itu pertanda Anda menjauh darinya. Anda tidak berusaha untuk mendekat dan menenteramkan hatinya, namun justru membuat garis pemisah yang semakin tajam antara Anda dengan istri Anda.
Sebagai suami, teruslah berusaha mendekat istri, jangan menjauh. Saat istri tampak emosional dan marah-marah, dekatilah, peluklah, bisikkan kalimat mesra di telinganya. Jangan diimbangi dengan kemarahan, emosi dan apalagi kekerasan serta kekasaran sikap. Mendekatlah terus kepada istri, dan jangan menjauh.
Karakter ketujuh, suami ideal memiliki keterampilan praktis kerumahtanggaan. Suami bukan hanya bekerja mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istri, sehingga setelah di rumah merasa menjadi manusia bebas yang tidak memiliki tugas dan tanggung jawab apapun untuk dikerjakan. Sesampai di rumah langsung istirahat, bersantai atau tidur karena merasa sudah lelah dalam menjalankan kewajiban mencari nafkah. Seakan-akan semua pekerjaan praktis kerumahtanggaan dengan sendirinya menjadi kewajiban istri.
Sesungguhnyalah pengerjaan kegiatan praktis kerumahtanggaan itu sangat fleksibel, tidak ada ketentuan baku tentangnya. Maka, lakukan musyawarah di rumah untuk membagi peran antara suami, istri, anak-anak, dan pembantu (jika memiliki pembantu rumah tangga). Lebih khusus lagi yang harus disepakati adalah peran suami dan istri di dalam rumah, agar tidak menimbulkan perasaan ketidakadilan.
Bagilah peran secara berkeadilan, melalui proses musyawarah yang penuh suasana kasih sayang, bukan pemaksaan kehendak atau intimidasi. Semua untuk menjaga cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga.
Karakter kedelapan, suami ideal memberikan kesempatan dan dorongan kepada istri untuk maju, berkembang dan berprestasi. Tidak layak bagi suami untuk menghambat kemajuan dan perkembangan potensi istri. Pernikahan bukanlah lembaga untuk mensterilkan berbagai potensi dan prestasi salah satu pihak. Justru dengan pernikahan itu akan semakin mengoptimalkan berbagai potensi kebaikan dari suami dan istri.
Definisikan format prestasi, dan sepakati bersama dalam keluarga. Setelah ada kesepakatan, maka dukung dan doronglah istri untuk berprestasi. Rayakanlah setiap keberhasilan dan capaian prestasi suami dan istri, dalam suasana kehangatan cinta dan kasih sayang. Apabila suami mencapai peningkatan prestasi, itu karena dukungan dan dorongan istri serta anak-anak. Apabila istri mencapai puncak prestasi, itu karena dukungan dan dorongan suami serta anak-anak. Semua pihak merasa gembira, berbangga dan mampu merayakannya.
Karakter kesembilan, suami ideal selalu tampak “young and fresh” di hadapan istri. Banyak suami yang menuntut istri dalam bentuk yang perfect, seperti harus selalu wangi, segar, harum, berdandan menarik, berpenampilan menyenangkan, dan lain sebagainya. Namun dirinya sendiri tampak tidak memperhatikan penampilan saat di rumah. Bau keringat yang menyengat, penampilan yang apa adanya, tidak menampakkan kerapian dan keserasian dalam berpakaian, menjadi sesuatu yang khas saat di rumah.
Tidak layak semua tenaga, pikiran dan perhatian Anda habiskan di kantor dan di tempat berkegiatan di luar rumah. Sementara Anda pulang dengan membawa tenaga sisa, pikiran sisa, hati sisa, dan perhatian sisa. Cinta dan kasih sayang seperti apa yang Anda harapkan tumbuh berkembang di dalam kehidupan keluarga apabila semua dibangun di atas sisa-sisa?
Jangan bawa beban masalah dari luar rumah masuk ke dalam rumah Anda. Sebanyak apapun rasa lelah Anda dari melaksanakan aktivitas seharian, pulanglah ke rumah dalam kondisi segar dan bergairah menemui istri serta anak-anak.
Karakter kesepuluh, suami ideal selalu memperbarui motivasi dan menguatkan kembali makna ikatan dengan istri. Menikah, awalnya adalah sebuah akad, atau ikatan. Prosesi nikah yang sakral itu hakikatnya adalah sebuah ikrar dan perjanjian agung atas nama Tuhan, diresmikan oleh negara, disaksikan oleh orang tua, keluarga, kerabat, sahabat, tetangga dan sanak saudara. Sedemikian sakral prosesi pernikahan, tampak dari banyaknya pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Motivasi menikah adalah ibadah, bagian dari pelaksanaan aturan Ketuhanan, yang kemudian secara teknis administrasi diatur oleh negara. Sejak awal, motivasi ini telah diwujudkan dan dikokohkan dalam sebentuk ucapan atau ikrar, saat melaksanakan akad nikah di depan petugas pernikahan. Dalam perjalanan kehidupan berumah tangga, ikatan ini bisa mengendur dan melemah, maka harus selalu disegarkan dan dikuatkan.
Demikianlah ringkasan keterangan sepuluh karakter suami ideal. Semoga ada manfaatnya untuk membawa kita menuju kondisi yang lebih baik.


Sumber: 
www.dakwatuna.com

TENTANG USIA AISYAH KETIKA DINIKAHI NABI MUHAMMAD

Seorang teman kristen suatu kali bertanya ke saya, ” Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?” Saya terdiam. Dia melanjutkan,” Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?” Saya katakan padanya,” Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya. Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, Orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.
Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti .
Nabi merupakan manusia tauladan, Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimaanpun, kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah thd orang tua dan suami tua tersebut.
Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur dibawah 18 tahun , dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam oraganisasi-oraganisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.
Jadi, Saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya thd Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya.
Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya. Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tsb sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisyanm ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.
BUKTI #1: PENGUJIAN THD SUMBER
Sebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari Bapaknya,Yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini.
Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, dimana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.
Tehzibu’l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : ” Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq ” (Tehzi’bu’l-tehzi’b, Ibn Hajar Al-`asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).
Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ” Saya pernah dikasih tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tehzi’b u’l-tehzi’b, IbnHajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).
Mizanu’l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).
KESIMPULAN: berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindha ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.
KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:
pra-610 M: Jahiliya (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama AbuBakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah
BUKTI #2: MEMINANG
Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.
Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: “Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya ” (Tarikhu’l-umam wa’l-mamlu’k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).
Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M).
Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.
KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.
BUKTI # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah
Menurut Ibn Hajar, “Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah ” (Al-isabah fi tamyizi’l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).
Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.
KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.
BUKTI #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’
Menurut Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d: “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992).
Menurut Ibn Kathir: “Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).
Menurut Ibn Kathir: “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau bebrapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow).
Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisuh usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M).
Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.
Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.
Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?
kesimpulan: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.
BUKTI #5: Perang BADAR dan UHUD
Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab karahiyati’l-isti`anah fi’l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama`a’lrijal): “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].”
Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud and Badr.
Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”
Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 years akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perangm, dan (b) Aisyah ikut dalam perang badar dan Uhud
KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.
BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)
Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).
Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih
suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karean itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.
Kesimpulan: riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.
BUKTI #7: Terminologi bahasa Arab
Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepada nya ttg pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya ttg identitas gadis tsb (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yangmasih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaiaman kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin”.
Oleh karean itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).
Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karean itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.
BUKTI #8. Text Qur’an
Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?
Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat , yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid doaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri. Ayat tsb mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6)
Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.
Disini, ayat Qur’an menyatakan ttg butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.
Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tsb secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh karean itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa AbuBakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.
Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan,” berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah Nol besar. Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?
AbuBakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karean itu menentang hukum-hukum Quran.
Kesimpulan: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karean itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.
BUKTI #9: Ijin dalam pernikahan
Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.
Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.
Adalah tidak terbayangkan bahwa AbuBakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras ttg persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.
Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.
kesimpulan: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami ttg klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karean itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.
SUMMARY:
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah saw dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernha keberatan dengan pernikahan seperti ini, karean ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.
Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di
Iraq adalah tidak reliable. Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karean adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.
Oleh karean itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.